Ekonomi Indonesia Lebih Baik di Era SBY-JPNN.com
JAKARTA – Era reformasi yang berlangsung 17 tahun ini, telah menuai hasil yang cukup sigifikan bagi kelangsungan kehidupan demokrasi di Indonesia. Tingkat partisipasi rakyat khususnya kebebasan menyampaikan pendapat merupakan penanda bagi menguatnya proses pematangan kehidupan berdemokrasi di Tanah Air.
Di era reformasi, rakyat bebas bicara. Bahkan, tak segan-segan mengkritik apabila kebijakan pemerintah tak sesuai harapan rakyat. Kebebasan berbicara ini sangat langka ditemui di era orde baru, ketika Presiden Soeharto memimpin Indonesia selama 32 tahun.
Kini, kebebasan untuk menyampaikan pendapat bisa dilakukan mulai elit politik hingga masyarakat kecil. Pedagang minuman Sekoteng asal Cirebon, Jawa Barat, Edi (44 tahun), menjadi contoh nyata bagi kebebasan berbicara.
Edi yang ditemui JPNN pada Acara Pagelarang Wayang Kulit dalam rangka Peringatan 70 Tahun DPR, Minggu (30/8) dini hari, di Lapangan Sepak Bola, Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta, menyampaikan kesulitan ekonomi yang dialaminya.
Menurut Edi, kondisi ekonomi Indonesia lebih baik di era Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono. “Ya, kondisi ekonomi jauh lebih baik di era Pak SBY. Sekarang ini makin susah,” ucap Edi kepada JPNN, Minggu (30/8) dini hari.
Edi yang telah menjalani usahanya sebagai penjual minuman sekoteng sejak 1994 ini, tampaknya tak berlebihan jiwa dianggap mewakili suara hati rakyat kebanyakan.
DPR sebenarnya mulai resah dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini. Namun, DPR memiliki cara lain untuk mengkritisinya. Kritik DPR itu, antara lain disampaikan melalui Pagelaran Wayang Kulit, di Lapangan Sepak Bola, Kompleks Parlemen RI (DPR/MPR/DPD RI), Senayan, Jakarta, Sabtu (29/8) malam hingga Minggu (30/8) subuh.
Dengan momentum Peringatan Ulang Tahun ke-70, DPR tampaknya ingin menunjukkan kepeduliaannya terkait beban hidup masyarakat yang makin berat, termasuk masalah sosial yang menjadi dampak ikutannya.
Untuk diketahui, Pagelaran Wayang “Semar Pepeling” tersebut, yang mengambil lakon “Pepeling Semar” dengan Dalang Ki Enthus Susmono, yang juga Bupati Tegal, Jawa Tengah ini, mengisahkan bahwa di negara Yawastina, Prabu Parakesit sedang dihadap para nayaka menerima kedatangan Ki Lurah Semar. Sebagai wakil rakyat Semar merasa prihatin melihat situasi negara, ekonomi makin merosot, rakyat semakin miskin. Juga banyak pengangguran, kerusuhan, begal dimana-mana, kehidupan rakyat semakin tidak aman.
Semar mengingatkan atau memberi Pe’peling kepada Prabu Parikesit supaya segera mengambil tindakan. Kalau perlu mengganti para pejabat yang tidak mampu menjalankan tugasnya. Tak lama kemudian datanglah prajurit yang melaporkan terjadi kerusuhan yang dilakukan prajurit Prabu Niradha Kawaca. Prabu Parikesit segera mengutus Raden Sasikirana anak Gatutkaca.
Di Pesanggrahan Jalawasesa, Prau Niradha Kawaca berusaha untuk menolong negara Yawastina. Namun usaha tersebut dapat digagalkan para prajurit Yawastina dibawah pimpinan Raden Sasikirana anak Gatutkaca.
Di Pertapaan Kendalisada Begawan Anoman kedatangan Dewi Sritanjung yang diminta petunjuk atas berbagai bencana yang melanda negara Yawastina. Begawan Anoman memberi nasehat bahwa apa yang terjadi di negara Yawastina disebabkan masih banyaknya para pejabat yang kurang tanggap dan kurang memerhatikan kesengsaraan rakyat. Untuk itu, Srinjung diminta supaya konsultasi dengan Ki Lurah Semar karena Semar-lah yang tahu dan memahami akan kebutuhan orang kecil.
Sementara itu, di Kadipaten Pancala, Adipati Pancakusuma cucu dari Puntadewa bertemu dengan Kertiwindu cucu Patih Sengkuni. Kertiwindu membujuk Pancakusuma supaya mengambil alih kekuasaan Yawastina dengan dalih Parikesit tidak bisa mengendalikan keamanan dan ketertiban Yawastina.(fri/jpnn)
from JPNN.COM http://bit.ly/1JDScvC
via IFTTT