Mengintip Dapur Vivid, Raksasa Produsen Film Dewasa yang Tetap Eksis (1)-JPNN.com
BAGI para pecinta film dewasa alias film biru, adegan-adegan yang diproduksi oleh Vivid Adult Entertainment mungkin masih menjadi favorit. Kini, produsen film khusus dewasa itu bertahan dan tetap jadi raksasa industri hiburan dewasa karena bisa menyiasati perubahan.
Berikut penelusuran wartawan Jawa Pos KARDONO SETYORAKHMADI yang baru kembali dari Los Angeles.
---
SEBUAH meja dari kayu oak dan rak penuh trofi menghiasi ruangan berukuran 5 x 5 meter. Terletak di lantai 4, dari ruangan itulah sebuah bisnis yang per tahun menghasilkan USD 1 miliar (Rp 13,5 triliun) digerakkan
"Kalau saya tidak membuat hal yang berbeda, tentu tak akan berhasil," tutur Steven Hirsch, CEO Vivid Adult Entertainment, kepada Jawa Pos.
Di kantor yang berlokasi di Cahuenga Boulevard, Los Angeles, Amerika Serikat, itulah Hirsch harus memutar otak untuk membuat perusahaannya yang bergerak di bidang adult entertainment alias hiburan khusus orang dewasa terus survive di tengah berbagai perubahan.
Kisah Vivid menjadi raksasa di sektor adult entertainment bermula pada 1984. Terlahir dari keluarga yang berkecimpung di bisnis serupa, Hirsch mulai bekerja di perusahaan ayahnya.
"Lalu, saya bertemu dengan David James dan Bill Asher," katanya.
Nah, setelah bertemu David James dan Bill Asher tadi, Hirsch membentuk brand sendiri.
Langkah pertama, dia melakukan talent scouting dan melakukan branding serius pada Vivid Girls. Sebutan itu mengacu pada para aktris yang dikontrak secara eksklusif oleh Vivid. Yang paling populer di antaranya adalah Asia Carrera dan Tera Patrick.
"Tera sedang hiatus (berhenti) saat ini. Kalau Asia Carrera kami sudah tidak berhubungan lagi," kata Jackie.
Kemudian, dibuatkan serangkaian acara off air untuk Vivid Girls dan di-branding secara khusus. Sampai akhirnya mereka sukses membentuk basis penonton yang kuat.
Kedua, Vivid melakukan pembedaan terhadap produksi mereka. Studio itu pula yang memperkenalkan konsep celebrity sex-tape.
Memasuki pertengahan 2000 ketika film dewasa kian gampang didapatkan secara gratis di internet, Vivid pun terpukul. Tapi, sebagaimana entitas bisnis lainnya, mereka pun melakukan penyesuaian.
"Kuncinya, kami harus terus melakukan adaptasi," papar Hirsch.
Dia kemudian melakukan sejumlah perubahan radikal. Yang pertama adalah meniadakan lagi Vivid Girls. Sebab, konsumen ternyata bosan jika aktris yang terlibat itu-itu saja.
Kebijakan tersebut membuat Hirsch bisa berhemat.
Jika dulu Vivid memproduksi 6-7 film per bulan, kini cukup 2-3 film. "Para pemainnya dibayar langsung per proyek," kata Hirsch yang menolak menyebutkan detail fee pemain maupun total ongkos produksinya.
Langkah berikutnya, dia mematikan penjualan DVD-nya dan melakukan diversifikasi media. Yang pertama tentu saja situs berbayar Vivid.
"Mungkin orang bisa menonton film dewasa gratis di internet. Tapi, jika ingin kualitas bagus dan cerita yang unik, mereka tetap harus mengakses kami," terangnya.
Yang kedua, Hirsch melihat ceruk TV berbayar. Dia membentuk unit usaha yang khusus mengurus Vivid Channel dan melakukan penjualan. Ide itu berdasar pada perubahan tren bahwa orang tidak mau lagi ribet memutar cakram atau membuka laptop untuk menyaksikan film.
"Lebih praktis nonton pakai TV. Bosan, langsung matikan. Tidak perlu memencet tombol open dan memasukkan disc lagi," terangnya.
Belakangan terbukti, Vivid TV Channel menjadi divisi pengeruk uang paling besar Vivid. "Separo pendapatan kami berasal dari TV channel," kata Hirsch.
Namun, ketika ditanya jumlah pendapatan per tahun, dia menggeleng. "Maaf, kami tak bisa menyebutkannya," ujarnya. (ttg/bersambung)
from JPNN.COM http://bit.ly/1MLP1p4
via IFTTT