Raperda KTR Diskriminatif, Bakal Mematikan Usaha Kecil-JPNN.com
JAKARTA - Rancangan peraturan daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang disusun DPRD DKI dijadwal disahkan, Senin (21/3) menuai penolakan. Alasannya, pemerintah belum mempersiapkan tempat khusus merokok sebagaimana diperintahkan Mahkamah Konstitusi.
Tidak hanya itu, regulasi ini juga dianggap diskriminatif karena telah mengabaikan nasib pedagang kecil.
"Apapun alasannya, kebijakan itu hanya akan mematikan pedagang kecil dan diskriminatif," kata Ketua Umum Persatuan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) sektor rokok, tembakau dan minuman, Bonhar Darma Putra saat dihubungi wartawan, Minggu (20/3).
Menurut Bonhar, jika aturan itu disahkan, maka besar kemungkinan PPMI-SRTM akan lakukan aksi demo ke DPRD DKI dan kantor Gubernur DKI Jakarta untuk menolak aturan itu. "DPRD DKI ini kurang kerjaan,"kritik Bonhar.
PPMI SRTM sendiri sudah menyampaikan surat protes dan penolakan Raperda yang ditembuskan ke Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, dan Menteri Sosial. Diharapkan pemerintah pusat memperhatikan karena aturan-aturan seperti itu sangat tidak pas diterapkan di tengah perlambatan ekonomi.
"Kenyamanan Jakarta sebagai ibukota Negara tidak bisa diserahkan hanya kepada pemerintahan setempat, tetapi peran serta masyarakat mempunyai tanggung jawab yang sama," tegas dia.
Karenanya, DPP PPMI SRTM merekomendasikan dan berpendapat agar kiranya pembahasan draf Kawasan Tanpa ROkok di wilayah Pemprov DKI Jakarta agar lebih bijaksana harus dibarengi denga tersedianya Tempat Khusus Merokok (TKM).
"Jika tidak diakomodir seluruh lapisan masyarakat yang hidup di Jakarta terjadi diskriminasi terhadap masyarakat perokok sehingga mematikan usaha para pedagang kecil," tegasnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati, mengingatkan, instrumen untuk rokok juga saat ini sudah begitu banyak alias over regulated sehingga tidak perlu ditambah-tambah lagi.
"UU sendiri tidak ada kata melarang rokok," tegasnya. DPRD DKI Jakarta dan Pemerintah Provinsi juga seharusnya lebih memperhatikan aspek polusi dari kendaraan bermotor yang masih bermasalah di Jakarta tidak terlalu jauh mengatur ketat soal industri tembakau dalam hal ini konsumsi rokok.
"Anda bayangkan, ketika di luar area publik, asap knalpot Metromini danKopaja yang sudah tua juga banyak dihirup warga Jakarta dan juga lebih berbahaya karena timbal besi. Belum lagi knalpot motor-motor yang dimodifikasi, itu juga harus disosialisakan dampak bahayanya," sindir Enny.
Ia heran, minuman keras yang notabene lebih berbahaya dari tembakau, justru selama ini tidak pernah ada protes berlebihan dari aktivis kesehatan, sebagaimana terjadi pada industri tembakau. Padahal, miras lebih berbahaya.
"Ini tidak banyak protes sebagaimana terhadap tembakau," kritik Enny. (jpnn)
from JPNN.COM http://bit.ly/1ZinDRN
via IFTTT