Kualitas Rendah, Garam Lokal Kalah Bersaing-JPNN.com

JAKARTA – Masalah serius tengah membelit industri nasional berbahan baku garam.

Industri lokal dipaksa menyerap garam lokal untuk memenuhi kebutuhan bahan baku.

Padahal, kualitas garam lokal belum memenuhi spesifikasi kebutuhan industri.

Sebagai komoditi strategis, sejatinya penggunaan garam terus meningkat. Baik untuk keperluan konsumsi maupun industri.

Penyerap terbesar garam adalah kelompok industri kimia dengan kebutuhan rata-rata 2,05 juta ton dan industri aneka pangan 450 ribu ton.

Namun, faktanya hasil produksi garam lokal hanya dapat dipakai untuk konsumsi sedang untuk industri belum memenuhi syarat.

Di sisi lain, pengembangan lahan eksisting di Nusa Tenggara Timur (NTT) belum jelas.

Ketua Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Tony Tanduk tidak membantah kualitas garam lokal Indonesia sangat rendah dan impuritis (kotoran) tinggi.

Penggunaan garam pada industri petrokimia misalnya untuk pembalut wanita (softex) dan popok bayi. Kemudian industri bahan baku tekstil dan pulp (kertas) untuk proses bletching (pemutihan).

”Persoalan bertambah karena isu negatif tentang impor garam oleh industri pengguna garam. Selanjutnya, penyerapan garam lokal belum optimal karena hanya dilakukan industri pengguna garam,” beber Tony.

Di sisi lain, kebutuhan garam nasional terus meningkat per tahun.

Untuk konsumsi tercatat 700 ribu ton, petrokimia (1,75 juta ton), bleaching (400 ribu ton), aneka pangan (450 ribu ton), dan farmasi atau kosmetik (3 ribu ton).

Sementara itu, penyerapan pengeboran minyak 50 ribu ton, penyamakan kulit (50 ribu ton), pengasinan ikan( 400 ribu ton) dan industri lain (100 ribu ton).

”Pada garam ada dua komponen penting berupa natrium dan klorida. Natrium  penggunaan paling besar untuk industri,” ulasnya.

Menilik data itu, sambung Tony, tantangan serius tengah dihadapi industri garam domestik. Misalnya, daya saing industri perlu ditingkatkan.

Kualitas masih rendah dengan kadar NaCl kurang 94 persen dan impuritis tinggi. Impuritas kalsium dan magnesium rata-rata lebih besar tiga ribu ppm padahal persyaratan maksimal 600 ppm.

Selanjutnya, akurasi database produksi harus dibenahi supaya pengambilan keputusan tepat sasaran.

”Karena itu, kami usulkan percepatan produksi melalui program ekstensifikasi di NTT dan Nusa Tenggara Barat (NTB), ketersediaan data produksi yang valid serta pembentukan tim monitoring untuk survei produksi dalam negeri dan stok garam,” tegasnya. (far/jos/jpnn)



from JPNN.COM | Ekonomi http://bit.ly/2czGWDf
via IFTTT

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel