Ombudsman : Masih Banyak Permainan di PPDB
JAKARTA – Masa penerimaan peserta didik baru (PPDB) sedang berlangsung. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sejatinya sudah menyiapkan sistem PPDB online dan terintegrasi. Namun, peminatnya masih sepi karena banyak pemda yang belum siap bergabung.
Sistem integrasi PPDB online dikelola Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan (Pustekkom). Pengumuman PPDB terintegrasi, mulai jenjang SMP hingga SMA/SMK. Kepala Pustekkom Ari Santoso mengatakan, saat ini jumlah pemda yang mengintegrasikan PPDB masih 41 kabupaten dan kota dari seluruh Indonesia.
Menurut Ari, sistem PPDB yang terintegrasi secara online di seluruh Indonesia sebenarnya memiliki tujuan yang baik. Dia mengatakan, Kemendikbud mendorong penggunaan perkembangan TIK untuk transparansi dalam pelaksanaan pendidikan. Khususnya untuk urusan pengisian kuota siswa baru. Perincian kuota siswa baru di pemda yang sudah tergabung dalam PPDB online itu akan dipampang langsung.
’’Banyak daerah yang belum menjalankan karena belum berani transparan,’’ katanya di Jakarta Jumat (19/6). Berdasar website PPDB online yang terintegrasi di Pustekkom, pemda yang tergabung masih kelompok â€kelas duaâ€. Contohnya, Pemkab Banyuwangi, Pemkot Tangerang Selatan, Pemkot Bogor, Pemkot Dumai, Pemkab Sragen, dan Pemkab Banyumas.
Daerah-daerah kelas satu seperti DKI Jakarta, Surabaya, Semarang, Jogjakarta, dan Bandung belum tergabung dalam integrasi PPDB itu. ’’Gabung dalam PPDB online di bawah Pustekkom ini statusnya memang tidak wajib,’’ katanya. Tetapi, demi transparansi pengisian kuota siswa baru, Ari mengatakan, idealnya pemda ikut program PPDB online.
Related
Komisioner Ombudsman Bidang Penyelesaian Laporan Budi Santoso mengatakan, tahun ini memang belum ada laporan penyimpangan proses PPDB di kantor pusat Ombudsman RI. ’’Di kantor ombudsman daerah mungkin sudah ada. Tetapi, belum dilaporkan ke pusat,’’ katanya.
Budi mengatakan, merujuk PPDB tahun lalu, Ombudsman RI menerima 249 laporan PPDB dari seluruh Indonesia. Laporan terbanyak adalah permintaan uang, barang, atau jasa dalam penentuan penerimaan siswa baru. Masalah berikutnya adalah penyimpangan prosedur dalam PPDB. Kemudian, laporan panitia penerimaan yang tidak kompeten, diskriminasi, serta penyalahgunaan wewenang.
Untuk urusan penyimpangan prosedur, Budi mengamati, ada beberapa modus yang sering dilakukan sekolah. Di antaranya adalah sekolah sengaja menyisihkan sejumlah kursi atau kuota siswa baru. Nah, kuota yang disisihkan itu lantas ’’dilelang’’ diam-diam di luar proses PPDB resmi. ’’Kasus lain yang paling banyak adalah nominal uang pendaftaran bisa memengaruhi penerimaan. Ini kan tidak boleh,’’ tandasnya.
Budi mendukung langkah Kemendikbud melakukan integrasi PPDB secara online. Meski teknis penerimaan siswa baru dilakukan sekolah masing-masing, masyarakat bisa mengetahui kepastian kuota siswa baru di setiap sekolah. Dengan demikian, masyarakat juga bisa mengetahui jika ada praktik menyisihkan kursi untuk dijual. (wan/c10/end)
via IFTTT