Mengejar sang Surya dari Puncak Prau, Dieng

HUJAN rintik-rintik mulai turun selepas magrib. Desa di kaki Gunung Prau telah riuh oleh grup-grup pendaki yang siap berangkat. Sebagian besar rombongan itu berasal dari Jabodetabek dan daerah sekitar Jawa Tengah.

Selain Festival Dieng, libur akhir pekan yang panjang menjadikan Dieng ramai dikunjungi. Jika selama ini Dieng dikenal dengan wisata Kawah Sikidang, Bukit Sikunir, dan Telaga Warna, hari itu pendakian Puncak Prau menjadi primadona.

Saya dan tiga teman sampai menjelang malam. Kami memutuskan untuk beristirahat di rumah penduduk dan mendaki Puncak Prau pada dini hari. Banyak rombongan lain yang mendaki puncak sejak sore. Mereka memasang tenda di puncak karena tak ingin tertinggal matahari terbit.

Rombongan pendaki mengalir tak henti memasuki gerbang utama pendakian yang melewati rumah penduduk. Ketika malam turun, lampu-lampu pendaki terlihat berjajar seperti kunang-kunang. Jalur menuju puncak padat, meski hujan tak kunjung berhenti.

Hampir pukul tiga dini hari, kami mulai mendaki. Langit bersih selepas diguyur hujan semalaman. Cuaca sangat dingin dan untungnya tidak berangin. Setelah menulis data diri di pos awal, berangkatlah kami. Setelah melewati permukiman warga, jalur masuknya adalah tangga yang cukup tinggi, lalu mulai menaiki jalan berbatu. Gerimis turun beberapa kali mengiringi kami ke puncak.

Related

Jalur ke puncak tak terlalu jauh. Namun, tanah yang liat dan cenderung curam membuat pendakian cukup susah. Beberapa jalur ke puncak cukup mudah didaki dengan bantuan bambu sebagai pegangan. Bagi pendaki pemula, melakukan pemanasan akan sangat membantu sebelum pendakian.

Bernapas pendek-pendek dengan jarak waktu istirahat yang cukup juga bisa meringankan pendakian. Jika mendaki malam tanpa bertenda, sangat penting membawa jas hujan, senter/lampu, serta bekal makan-minum secukupnya.

Setelah dua setengah jam berjalan, tibalah kami di Puncak Prau tepat sebelum matahari terbit. Pemandangan desa-desa di kaki Prau dan Wonosobo di kejauhan sungguh indah. Tenda-tenda penuh warna berderet mirip perkampungan di ketinggian. Penghuni tenda berhamburan keluar begitu langit mulai oranye. Beberapa menuju bukit terdekat untuk menikmati matahari terbit dengan latar pegunungan berlapis-lapis di belakang.

Dari Puncak Prau, memang terlihat Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Sumbing, dan beberapa gunung lain di kejauhan. Semburat oranye merekah menjadi kuning seiring mentari yang mulai naik menyentuh awan-awan di atasnya. Riuh tepuk tangan para pendaki menyambut matahari terbit sambil tak henti-hentinya mengambil foto.

Matahari bersinar hangat bersanding dengan langit yang biru. Kelelahan dan keluhan pendaki amatir seperti kami tak tersisa menikmati pemandangan seindah itu. Kami duduk menikmati bekal sarapan ala kadarnya.

Sejam setelah menikmati matahari terbit, kami bersiap turun. Namun, ratusan tenda beserta penghuninya bergeming. Rupanya, mereka tinggal untuk menikmati matahari terbenam. Inilah salah satu keistimewaan Puncak Prau. Tinggal menoleh ke arah barat, akan tersaji matahari terbenam yang tak kalah indah –dengan catatan cuaca bagus– berlatar bukit-bukit kembar yang menawan.

Perjalanan naik dan turun jalur yang licin dan curam selama lima jam terbayar lunas dengan keindahan di Puncak Prau. (Dian Ariani/c5/dos)

from jawapos.com rss http://bit.ly/1GXtjK5
via IFTTT

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel